Trump Menebar Musuh (Kasus Yerusalem)
Trump, tampaknya tidak
menghiraukan sejumlah kritikan dunia internasional kepadanya. Kebijakan yang
dikeluarkannya kerap memicu perlawanan, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Bahkan dalam kampanye pilpres Amerika tahun 2016, ia berjanji akan
menghapus Obama Care, membangun tembok perbatasan AS-Meksiko, serta
membatasi imigran. Yang ketiga ini mendapat respons keras dari dunia
internasional. Sebab, pembatasan imigran ditujukan kepada negara-negara muslim.
Isu keamanan lagi-lagi menjadi alasan Trump memberlakukan pembatasan terhadap
imigran muslim ke AS. Serangan teroris di Paris, London, Brussels, dan Berlin
yang dilakukan oleh warga keturunan imigran menjadi alasan Trump menerapkan
kebijakan tersebut.
Banyak pihak kemudian memandang
kebijakan pembatasan AS terhadap imigran adalah bentuk anti-Islam. Mereka
menyuarakan bahwa Amerika merupakan tempat bagi semua orang, tidak mengenal
agama, warna kulit (ras), ataupun suku. Mahkamah Agung AS kemudian menolak
proposal Trump, dan memintanya untuk mengurangi cakupan dari larang tersebut.
Tidak lama setelah itu, Mahkamah Agung AS mengesahkan undang-undang imigrasi
yang dirumuskan Trump dengan syarat di atas.
Kebijakan kontroversial Trump
tidak hanya itu, pemindahan Kedutaan AS ke Yerusalem pada Mei lalu juga mendapat
protes keras dari banyak pihak. Negara-negara Eropa sebelumnya telah
memperingatkan Trump agar tidak mengambil keputusan gegabah menyangkut
Israel-Palestina sehingga akan memperkeruh proses perdamaian kedua negara. Bagi
Eropa, Yerusalem adalah kota penting bagi kedua negara. Apabila Yerusalem
menjadi milik Israel, itu akan menimbulkan konflik dengan Palestina, begitupun
sebaliknya.
Trump tidak melihatnya seperti
itu, baginya Israel berhak atas Yerusalem. Langkah Trump ini bertolak belakang dengan
pemerintahan AS sebelumnya yang menitik-beratkan pada proses perdamaian
Israel-Palestina. Trump tidak menginginkan kedua negara berdamai. Kata “damai”
bagi Trump adalah Yerusalem menjadi bagian Israel, dan rakyat Palestina harus
keluar dari tanah airnya.
Keputusan Trump untuk memindahkan
Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem semakin membuat Trump di benci
oleh dunia Arab. Negara-negara Arab telah mengantisipasi akan hal ini, tetapi
Trump bukanlah Obama yang masih memiliki pertimbangan-pertimbangan logis untuk
sebuah keputusan. Banyak pengamat menilai, keputusan yang di ambil Trump atas
pemindahan kedutaan besarnya ke Yerusalem bukan merupakan kehendak rakyat
Amerika dan penasehat-penasehatnya, melainkan hanya kehendak pribadi.
Arab Saudi yang memiliki pengaruh
di kawasan sepertinya tidak terlalu tertarik dengan keputusan AS tersebut.
Negara petro dolar itu terlalu disibukkan dengan politik perlawanan terhadap
Iran. Bahkan berbagai sumber menyebutkan, Kerajaan Arab Saudi membungkam media
massa nasional agar tidak memberitakan pemindahan kedutaan besar AS ke
Yerusalem. Kuatnya persekutuan Arab Saudi dan Amerika menjadi faktor penting
dibalik bungkamnya Saudi atas keputusan AS tersebut.
Berbagai demonstrasi yang
mengecam keputusan Trump memindahkan kedutaannya ke Yerusalem mulai membanjiri
kota-kota besar di Timur Tengah. Bahkan di Indonesia, aksi besar-besaran “Bela
al-Quds” dilakukan di Monas dan di depan Kedutaan AS di Jakarta. Mereka meminta
agar PBB bersikap tegas terhadap keputusan AS yang bertentangan dengan resolusi
PBB terkait Palestina.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
yang merupakan wadah bagi negara-negara Islam untuk menyuarakan kepentingannya
juga segera merespons kebijakan AS tersebut. Negara-negara OKI sepakat untuk
menolak klaim sepihak AS atas Yerusalem sebagai ibukota Israel, dan mengakui
Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina. Tidak hanya itu, OKI juga sepakat
untuk tidak melibatkan AS dalam proses perdamaian Palestina-Israel.
Keputusan Trump di atas, secara
tidak langsung telah menempatkan AS pada kondisi yang bersebrangan dengan
negara-negara Barat lainnya. Negara-negara Eropa yang telah lama menjadi sekutu
tradisional AS justru menolak ajakan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai
ibukota Israel. Malah justru sebaliknya, mengecam keputusan AS tersebut.
Terlepas dari itu semua, Trump
telah menjadikan AS sebagai negara yang paling banyak musuhnya dibandingkan
sekutu dekatnya di Eropa. Citra negatif AS di bawah Trump juga telah mengalami kenaikan
dibandingkan di era pemerintahan Obama. Buruknya citra AS tersebut tidak hanya
terjadi di negara-negara Timur Tengah, tetapi juga di kawasan Amerika Latin.
Tahun 2017 lalu, Pew Research
Center melakukan survei terhadap tujuh negara Amerika Latin mengenai ketidaksukaan
terhadap AS di bawah Trump. Hasil survei menunjukkan bahwa dari tujuh negara
yang di survei masing-masing mengalami penurunan angka kesukaan terhadap AS. Hanya
Peru dan Colombia saja yang menunjukkan angka di atas 51 persen, sedangkan
sisanya di bawah 50 persen. Bahkan Meksiko yang merupakan tetangga AS, memiliki
pandangan negatif terhadap Amerika. Hanya 30 persen saja masyarakat Meksiko
yang menilai positif AS di bawah Trump. (Pew Research Center)
Survei tersebut secara tidak
langsung menjadi jawaban atas keraguan masyarakat dunia terhadap kepemimpinan
Trump. Lebih lanjut, Pew Research Center menyebutkan bahwa penurunan citra
positif AS juga terjadi di berbagai kawasan mulai dari Amerika Utara, Eropa, Asia,
dan Afrika. Adapun penyebab penurunan citra AS di mata internasional tidak
lepas dari kebijakan-kebijakan Trump yang kontroversial.
Baca juga tulisan ini di zonasosmed.com
Komentar
Posting Komentar