Humanitarian Intervention ditinjau kembali

Polemik seputar perlu atau tidaknya suatu negara atau organisasi internasional melakukan intervensi (politik maupun militer) terhadap negara yang sedang dilanda konflik dengan mengacu kepada perlanggaran HAM berat akhir-akhir ini menjadi isu yang mengundang perdebatan di kalangan akademisi hubungan internasional. Intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) yang kerap dilakukan AS dan sekutunya terhadap negara yang “diduga” melakukan pelanggaran HAM justru semakin memperparah keadaan. Banyak kerugian yang diakibatkan dari intervensi itu mulai dari jatuhnya korban jiwa (sipil maupun militer) sampai terpuruknya perekonomian suatu negara.

Jennifer M. Weish mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai intervensi koersif dalam urusan internal politik suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer untuk mengakhiri pelanggaran HAM berat. Sedangkan Anthony Lang mengatakan bahwa tidak ada definisi pasti mengenai intervensi kemanusiaan, melainkan setiap definisi yang ada selalu mengandung asumsi normatif. Jadi, intervensi kemanusiaan dapat diartikan sebagai pengerahan kekuatan militer terhadap suatu negara tertentu dengan tujuan mengakhiri perlanggaran hak asasi manusia di negara tersebut.
Dari definisi di atas, kita dapat mengambil sub-term terpenting untuk memahami lebih mendalam mengenai intervensi kemanusiaan. Pertama, suatu negara atau organisasi internasional (NATO, UNTAET, SEATO dll) berhak melakukan intervensi terhadap suatu negara apabila terdapat pelanggaran HAM “berat” di negara tersebut. Kedua, sebagai barometer pelanggaran HAM berat dengan mengkalkulasi jumlah korban jiwa akibat konflik baik horizontal (rakyat dengan rakyat) maupun vertikal (rakyat dengan pemerintah). Ketiga, intervensi kemanusiaan dilakukan oleh suatu negara atau organisasi apabila mendapat mandat dari Dewan Keamanan (DK) PBB.
Intervensi kemanusiaan bukanlah isu baru dalam politik internasional, sejarah telah mencatat bahwa Intervensi kemanusiaan telah lama diterapkan oleh penguasa-penguasa terdahulu sebelum berdirinya negara-negara modern seperti saat ini, akan tetapi yang membedakan Intervensi kemanusiaan zaman dahulu (tradisional) dengan Intervensi kemanusiaan sekarang (non-tradisional) terletak pada konsep pelaksanaannya. Intervensi kemanusiaan menurut aliran tradisionalis ditujukan kepada tindakan “pressure” politik seperti melakukan serangkaian kekacauan politik di daerah perbatasan tanpa melakukan invasi militer secara langsung, hal ini bertujuan untuk memberikan serangan psikologis (physiological striking force) terhadap lawan. Sedangkan Intervensi kemanusiaan menurut kalangan non-tradisionalis yang sering dilakukan era sekarang ini oleh negara-negara Barat lebih ditekankan pada penggunaan kekuatan militer secara langsung. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi dari perbedaan konsep di atas adalah berkaitan dengan kesamaan tujuan dilakukannya Intervensi kemanusiaan, yaitu sama-sama ingin mengakhiri pelanggaran HAM di negara tujuannya.  

Ditinjau Kembali
Intervensi kemanusiaan tidak selalu menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan bersama yaitu terciptanya kedamaian, kebebasan dan hak asasi manusia di negara yang sedang dilanda konflik. Terkadang dengan dilakukannya intervensi kamanusiaan justru semakin membuat keadaan lebih buruk dari sebelumnya, hal ini dikarenakan banyak pihak menggunakan term “intervensi kemanusiaan” sebagai dalih untuk mencapai kepentingan nasionalnya, bukan kepentingan bersama yang sesuai dengan asas dan tujuan intervensi kemanusiaan.
Belajar dari serangan NATO ke Libya yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Khadafi, mereka (NATO) menggunakan isu “kemanusiaan” sebagai tameng memperoleh legitimasi dari dunia internasional. Serangan tersebut terbukti berhasil dengan terbunuhnya Presiden Libya Moammar Khadafi pada 20 Oktober 2011. Setelah pemerintahan Khadafi tumbang di tangan pemberontak, oposisi mengambil alih kekuasaan dengan Barat sebagai dalangnya. Kita bisa pahami bahwa terdapat “agenda besar” adanya intervensi kemanusiaan di Libya –selain alasan penggulingan Khadafi –yaitu memperebutkan ladang minyak yang cukup besar di Libya.
Libya selama di bawah pemerintahan Khadafi selalu berkonfrontasi dengan Barat, khususnya menyangkut isu Israel-Palestina. Sehingga Barat sangat kesulitan untuk menguasai ladang minyak di Libya. Untuk itu, jalan terakhir yang ditempuh Barat adalah dengan melancarkan propaganda dari serangkaian demonstrasi yang terjadi di Libya, misalnya dengan memanipulasi jumlah korban jiwa sehingga menyulut simpati dari masyarakat internasional dan mendorong dilakukannya humanitarian intervention.  
Selain Libya, hal serupa juga terjadi di Irak. Muncul isu bahwa Saddam Husain membuat senjata pemusnah massal untuk melindungi kepentingannya di Timur Tengah. Isu itu mendapat sambutan hangat dari dunia internasional dan sebagai alasan untuk melindungi rakyat Irak dari kekejaman Saddam, lagi-lagi isu yang dibawa adalah intervensi kemanusiaan. Maka AS menggunakan kekuatannya di NATO untuk menginvasi Irak dan melumpuhkan kekuatan Saddam. Setelah berakhirnya perang Irak, sejumlah peneliti membuktikan tidak ada senjata pemusnah massal yang selama ini di gembor-gemborkan AS dan sekutunya untuk menguasai Irak.
Kondisi politik dan ekonomi Irak hancur pasca serangan sekutu dan merusak semua fasilitas-fasilitas publik seperti sekolah, universitas, bangunan, dan lain sebagainya. Pembangunan infrastruktur terus dilakukan dan kabar mengejutkan bahwa pembangunan infrastruktur di Irak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Barat dan dibiayai oleh pemerintah Irak, selain itu perusahaan-perusahaan minyak Barat dapat bergerak bebas mengeksploitasi minyak di Irak. Terbukti, politik minyak menjadi tujuan akhir dari serangkaian serangan dan invasi Barat atas Irak dan sejumlah negara Timur Tengah yang menjadi korban kebiadaban AS dan sekutunya (Barat) dengan tameng humanitarian intervention.

Dari situ, perlu kita cermati lebih mendalam doktrin humanitarian intervention sebagai suatu doktrin yang kerap disalah gunakan oleh Barat. Banyak kritikan terhadap doktrin ini selain menggunakan kekuatan militer sebagai jalan akhirnya, juga karena doktrin ini mengabaikan kedaulatan suatu negara. Artinya negara dianggap sebagai entitas politik memiliki wewenang untuk menyelesaikan setiap konflik internalnya tanpa ada campur tangan dari negara manapun. Aturan PBB menyebutkan suatu negara tidak diperkenankan melakukan serangan terhadap kedaulatan negara lain kecuali untuk menyelamatkan umat manusia dan itupun atas izin PBB. 
Sumber Bacaan
          Klik disini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rudal Balistik Korut Yang Bikin Heboh

Komunikasi Politik