Kelapa Sawit versus Airbus


Pada Januari tahun ini, Parlemen Uni Eropa memutuskan untuk menghapuskan produk-produk berbahan baku sawit Crude Palm Oil (CPO). Ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan olahan sawit yang merusak lingkungan. Keputusan Uni Eropa (UE) ini akan merugikan negara-negara peng-ekspor sawit seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pemerintah Indonesia langsung menanggapi keputusan UE ini dengan serius, bahkan pemerintah Indonesia mengancam akan menghentikan perdagangan dengan UE. Tindakan tegas ini dilakukan pemerintah Indonesia mengingat Indonesia adalah salah satu peng-ekspor kelapa sawit terbesar di dunia.

Pertumbuhan kelapa sawit Indonesia terbilang cepat, setiap tahun terjadi peningkatan luas tanaman kelapa sawit. Pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan luas lahan sawit Indonesia mencapai 14,03 juta hektare. 5 juta hektare dari jumlah di atas adalah lahan sawit milik rakyat (swasta), sedangkan sisanya milik pemerintah pusat ataupun daerah.

Mengingat begitu luasnya lahan sawit di Indonesia, menjadikan perkebunan sawit adalah salah satu industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 50 juta rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya dengan menjadi petani kelapa sawit. Apabila ekspor sawit terhenti, tentu ini akan mengganggu perekonomian dalam negeri. Selain itu, juga dapat mematikan industri kelapa sawit dan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran.

Tidak salah jika selama ini kelapa sawit menjadi salah satu komoditi ekspor terbesar Indonesia setelah migas. Menurut data BPS tahun 2014 tentang Statistik Kelapa Sawit Indonesia menunjukkan setiap tahun terjadi kenaikan permintaan ekspor kelapa sawit Indonesia. Permintaan itu datang dari negara-negara seperti China, India, Pakistan dan negara-negara Uni Eropa.

Ekspor CPO Indonesia ke negara-negara Uni Eropa mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tahun 2009 saja ekspor CPO Indonesia ke UE sebesar 3,6 juta ton dan mengalami kenaikan di tahun 2015 sebesar 4,23 juta ton (Dian, 2016: 140). Angka di atas menunjukkan UE sebagai pangsa pasar CPO terbesar Indonesia. Melihat begitu besarnya ekspor CPO Indonesia ke negara-negara Eropa membuat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan bereaksi keras dan menganggap ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE adalah hasil dari deforestasi.

Kecaman tersebut tidak datang dari LSM dalam negeri, melainkan juga dari negara-negara Eropa. LSM Eropa sering menyuarakan penghentian perdagangan sawit dengan Indonesia, dan mendorong agar UE membuat aturan yang membatasi impor kelapa sawit. Tekanan seperti itu mendorong UE untuk memperketat perdagangan kelapa sawit Indonesia, dan membatasi impor kelapa sawit dari hasil deforestasi. Selain itu, UE beralasan ekspor kelapa sawit Indonesia menciptakan banyak masalah seperti korupsi, pekerjaan anak, hingga pelanggaran HAM.

Pembalasan Indonesia

Pemerintah Indonesia membuat langkah-langkah strategis untuk menanggapi keputusan Parlemen UE terkait dengan penghentian impor produk kelapa sawit dari Indonesia yang akan berlaku tahun 2021. Langkah pertama adalah dengan mengadakan pertemuan perwakilan Parlemen Indonesia dengan Parlemen Uni Eropa. Di mana, Indonesia diwakili oleh Badan Kerjasama Antar Parlemen yang diketuai oleh Nurhayati Assegaf. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Parlemen Indonesia akan memperjuangkan minyak kelapa sawit Indonesia dan meminta agar UE meninjau kembali rancangan aturan pelarangan impor CPO tersebut. 

Meskipun pembahasan RUU tersebut belum final, pemerintah Indonesia telah terlebih dahulu menerapkan langkah kedua dengan mengancam akan menghentikan perdagangan dengan UE, termasuk pembelian pesawat jenis Airbus. Ancaman itu tentu akan merugikan UE, karena nilai perdagangan Airbus lebih besar dibandingkan dengan CPO. Apalagi banyak maskapai-maskapai Indonesia menggunakan jenis pesawat Airbus dengan pembelian yang tidak sedikit. Tentu, secara tidak langsung hal itu telah mendorong pertumbuhan ekonomi Uni Eropa.

Usaha lobi yang dilakukan perwakilan Parlemen Indonesia dengan Parlemen Uni Eropa, serta ancaman penghentian pembelian pesawat Airbus oleh Indonesia ternyata membuahkan hasil. Parlemen Uni Eropa akhirnya menunda larangan ekspor kelapa sawit Indonesia yang semula sampai tahun 2021 menjadi 2030. Penundaan tersebut setidaknya memberikan waktu kepada pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan industri kelapa sawit yang menjadi salah satu penyumbang devisa negara. Agar tidak ada lagi alasan bagi Uni Eropa untuk mempersulit atau bahkan menghentikan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Selain itu, pemerintah juga harus mencari pasar alternatif untuk ekspor CPO selain Uni Eropa. Perluasan pangsa pasar CPO Indonesia diharapkan akan mengurangi ketergantungan ekspor CPO ke Uni Eropa. Sehingga ketika terjadi sengketa dengan Uni Eropa, tidak berpengaruh besar pada industri kelapa sawit, karena memiliki pasar alternatif.  

Referensi Bacaan:

Maulana Hadalfath, “Penyebab Persengketaan Kelapa Sawit antara Indonesia dan Uni Eropa,” 11 April 2018. Kumparan.com

Kebijakan Parlemen Uni Eropa Terkait Sawit Rugikan Indonesia, 26, April 2018, Tribunnews.com

Dian Widyaningtyas dan Tri Widodo, “Analisa Pangsa Pasar dan Daya Saing CPO Indonesia di Uni Eropa,” Jurnal Ekonomi Manajemen Sumber Daya, Vol. 18, No.2, Desember 2016.

Artikel ini juga dimuat di zonasosmed.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rudal Balistik Korut Yang Bikin Heboh

Humanitarian Intervention ditinjau kembali

Komunikasi Politik