Bangsa Semit
Dari sekian banyak suku bangsa di
dunia, bangsa Semit adalah salah satu di antaranya. Penyebaran bangsa Semit
hampir sebagian besar di semenanjung Arab atau Timur Dekat. Bangsa Arab saat
ini bisa dikatakan sebagai keturunan Semit, meskipun istilah Semit diidentikkan
dengan bangsa Yahudi. Tetapi dilihat dari sejarahnya, kedua bangsa tersebut
berasal dari bangsa yang sama. Pendapat ini bisa dikatakan masih
dalam perdebatan, hal ini karena wilayah Timur Tengah dahulu banyak dihuni oleh
banyak suku bangsa dengan peradaban yang maju. Suku bangsa tersebut seperti
Babilonia (Akadia), Assyiria, Kaldea, Ameria dan Kana. Menurut Philip K Hitti
suku bangsa di atas berasal dari rumpun yang sama. Persamaan ini bisa dilihat
dari bahasa, penamaan anggota tubuh, institusi sosial, persamaan agama, dan
ciri fisik (Philip,
2013,12-13).
Terdapat beberapa teori mengenai asal-usul bangsa Semit. Teori pertama menyebutkan Afrika Timur sebagai tempat asal bangsa Semit. Pendapat ini berdasarkan pertimbangan hubungan etnis yang luas antara Semit dan Hamit. Teori kedua menyebutkan bangsa Semit mendiami Mesopotamia, pendapat kedua ini terpengaruh perjanjian lama. Banyak yang menilai teori kedua ini bertentangan dengan hukum sosiologi yang berkaitan dengan periodisasi sejarah manusia (Philip, 2013,12-13).
Dalam periodisasi sejarah manusia
disebutkan bahwa manusia awalnya hidup nomaden dari satu tempat ke tempat lain.
Kehidupan seperti ini dilakukan untuk mencari lahan yang cocok untuk ditinggali
atau juga karena faktor cuaca. Setelah mengalami evolusi yang lama, manusia
mulai hidup menetap di daerah-daerah yang subur dan umumnya di daerah pesisir. Jika
mengacu pada hukum sosiologi di atas, maka teori Mesopotamia secara tidak
langsung bertolak belakang dengan pola kehidupan manusia zaman dulu yang
nomaden. Sebab wilayah Mesopotamia merupakan wilayah yang subur dan cocok untuk
ditinggali, dan tidak mungkin untuk melakukan migrasi.
Teori ketiga mengatakan bahwa
tempat tinggal pertama bangsa Semit adalah Semenanjung Arab. Teori ini tampak
masuk akal karena Semenanjung Arab merupakan daerah padang pasir yang luas, memungkinkan
masyarakat waktu itu untuk berpindah dari Semenanjung Arab ke Sinai dan lembah
sungai Nil (Phillip, 2013,12-13). Penyebaran bangsa Semit dari satu wilayah ke
wilayah lain ini melahirkan banyak suku bangsa, salah satunya Babilonia dan Mesir.
Babilonia merupakan ras campuran antara Semit dengan Sumeria yang mendiami
lembah Tigris dan Eufrat. Sedangkan campuran antara Semit dengan Hamit—mendiami Afrika Timur—melahirkan bangsa Mesir.
Dilihat dari luasnya sebaran
bangsa Semit hingga keluar
wilayah Arab—Afrika Utara
sampai Asia Barat—menunjukkan
adanya migrasi besar-besaran yang dilakukan pada waktu itu. Menurut Philip, mengacu
pada teori Semenanjung Arab menyebutkan bahwa pada waktu itu terjadi
peningkatan populasi yang sangat tajam yang menyebabkan Semenanjung Arab tidak
dapat menampung ledakan penduduk. Hingga kemudian beberapa orang melakukan
perjalanan mengunjungi kawasan baru, dan jumlahnya semakin banyak (Philip,
2013,15).
Karena suatu bangsa erat
kaitannya dengan bahasa, sehingga muncul istilah bahasa semit yang digunakan
hampir semua bangsa-bangsa di Timur Tengah saat ini. Hal ini juga tidak lepas dari
penyebaran bangsa semit di atas. Joseph Greenberg bahkan mengklasifikasikan
bahasa semit dalam subkelompok Afro-asiatik (Joseph, 1990). Pengklasifikasian Joseph di dasarkan pada penyebaran bangsa Semit ke wilayah
Afrika yang kemudian bercampur dengan bangsa Hamit yang telah lama mendiami
wilayah tersebut.
Louis ‘Awad meragukan sejumlah
fakta di atas, ia menilai bahasa semit bukan berasal dari Semenanjung Arab dan
Afrika. Menurutnya, bahasa semit berasal dari rumpun bahasa Indo-Eropa yang banyak
dituturkan penduduk Kaukasus. Ia juga menganggap bahwa penduduk Arab bermigrasi
dari Kaukasus menuju Semenanjung Arab sekarang ini (Musda, 2016). Pendapat ini
secara tidak langsung meragukan teori Semenanjung Arab di atas yang menganggap
bangsa Semit melakukan migrasi dari Semenanjung Arab ke wilayah Mesopotamia
yang subur.
Kaitannya dengan hal ini, penulis
lebih sependapat dengan teori Semenanjung Arab dan meragukan teori Kaukasus. Sebab
dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, daerah kaukasus tidak terkenal dengan
peninggalan peradaban yang maju laiknya Babilonia, Assyiria, dan Ameria yang
ada di daratan Timur Tengah. Kemudian, bahasa Arab sekarang ini yang berasal
dari bangsa Semit banyak dituturkan oleh orang-orang yang tinggal di
Semenanjung Arab dan Afrika. Adapun kaitan lainnya mengacu pada pendapat Ibnu
Katsir yang menyebutkan “semua manusia di bumi sekarang ini dinisbatkan kepada ketiga anak Nabi Nuh
yaitu Sem (bangsa Semit), Ham (bangsa Hamit), dan Yafidz”.[1]
Lebih lanjut, terdapat hadist
Nabi di riwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal yang berbunyi “Sem adalah nenek moyang
bangsa Arab, Ham adalah nenek moyang bangsa Habasyah dan Yafidz nenek moyang bangsa
Romawi. (HR. Ahmad no. 19594)”. Dari hadist Nabi di atas, tampaknya sesuai
dengan kajian sejarah modern saat ini yang menempatkan istilah Semit (Sem) pada
penduduk yang tinggal di Semenanjung Arab. Sedangkan Hamit (Ham) telah mendiami
wilayah Afrika tepatnya di Habasyah (Etiopia) yang kemudian bercampur dengan
bangsa Semit. Percampuran tersebut —seperti
yang telah dijelaskan di atas—melahirkan
bangsa Mesir saat ini.
Sumber Bacaan:
[1] Bidayah wan Nihayah, 1/115, Darul
Kutub Ilmiyah, Syamilah
Philip
K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2013.
Joseph H. Greenberg dan Suzzane Kemmer, On Language: Selected Writings
of Joseph H. Greenberg, Stanford University Press, 1990.
Louis ‘Awad,
Muqoddimah fi Fiqh al-Lughoh al-Arobiyah, (Kairo: Ru’yah li An-Nasyr Wa
at-Tauzi, 2006). Dalam Musda Asmara, Asal-Usul Bangsa Arab: Studi Kritis Atas
Pemikiran Louis ‘Awad, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 1
No.02,2016.
Baca juga tulisan ini di zonasosmed.com
Komentar
Posting Komentar