OKI dan Hutang Sejarah Kemerdekaan Palestina
Organisasi Kerjasama Islam atau dahulu bernama Organisasi
Konferensi Islam merupakan wadah perkumpulan negara-negara Islam atau
negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, dibentuk pada tanggal
25 September 1969 di Rabat, Maroko. Dibentuknya OKI sebagai respon atas
tindakan pembakaran Masjid al-Aqsha oleh ekstrimis Yahudi serta aneksasi Israel
terhadap wilayah Palestina dan sekitarnya (seperti Suriah, Lebanon).
Selain itu, perang Arab-Israel pada tahun 1967 juga menjadi salah
satu trigger berdirinya organisasi ini.
Organisasi yang berpusat di Jeddah ini memiliki tujuan yang sampai sekarang belum bisa diwujudkan yaitu kemerdekaan Palestina. Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ini memiliki hutang sejarah yang harus dilunasi dengan cara bersatu membebaskan tanah Palestina dari cengkraman Zionis Israel. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) OKI di Jakarta tahun ini, negara-negara anggota OKI seperti “diingatkan” kembali tujuan dasar didirikannya organisasi ini yaitu kemerdekaan Palestina dan perlindungan terhadap tempat suci umat Islam.
Negara-negara anggota OKI sepertinya “lupa”
atas aneksasi Israel yang semakin meluas terhadap wilayah Palestina. Hal ini
tidak lepas dari kondisi politik di Timur Tengah yang sedang berkecamuk dasawarna terakhir ini seperti
konflik Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah yang secara tidak langsung menggeser
isu Palestina di ranah internasional. KTT ini juga sebagai moment untuk
menyatukan suara negara-negara anggota OKI terhadap kemerdekaan Palestina.
Sebab, selama ini negara-negara anggota OKI berbeda pendapat dalam
menyikapi isu Palestina karena perbedaan ideologi dan kepentingan
politik.
Meskipun sudah berumur hampir 50 tahun, organisasi ini masih belum
bisa mewujudkan Palestina merdeka. Pertemuan-pertemuan OKI tingkat kepala
negara maupun tingkat menteri yang membahas isu Palestina sepertinya hanya
sebatas seremonial belaka, tidak menghasilkan keputusan yang nyata bagi
kemerdekaan Palestina, jauh panggang dari api.
Terselenggaranya KTT LB OKI di Jakarta tidak lepas dari sikap
Indonesia yang terus menerus menggaungkan kemerdekaan Palestina di forum-forum
internasional. Sikap Indonesia tersebut kemudian mendorong Presiden Palestina
Mahmoud Abbas untuk meminta kesediaan Indonesia menggantikan Maroko menjadi
tuan rumah perhelatan KTT LB OKI ke-5. KTT LB OKI ini juga sebagai wujud
dari Nawa Cita Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan peran Indonesia dalam
dunia internasional mengenai isu-isu Palestina, dan baru-baru ini Presiden
Jokowi telah mengumumkan untuk membuka Konsulat Kehormatan RI di Ramallah yang
rencananya akan diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi
pada pertengahan Maret ini.
Tidak mudah memang untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina terlebih
Indonesia yang tidak memiliki peran dominan dalam konflik Israel-Palestina.
Tidak adanya hubungan bilateral Indonesia dengan Israel dinilai menjadi
permasalahannya, sehingga Indonesia hanya bisa menggunakan ASEAN dan OKI untuk
melobi PBB agar berperan aktif terhadap isu Palestina, terutama mendorong
genjatan senjata Israel-Palestina dan mengirim pasukan perdamaian di perbatasan
kedua negara tersebut.
Di sisi lain, kondisi politik Palestina juga menjadi faktor
penentu perdamaian di tanah Kan’an ini. Hamas (Harakat al-Muqawwamatul
Islamiyyah) yang menguasai jalur Gaza telah menjadi gerakan yang mendapat
dukungan paling banyak dalam pemilihan parlemen Palestina pada tahun 2006. Tak
pelak jika organisasi yang mendapat dukungan penuh dari Iran ini, memiliki
peranan penting dalam menciptakan perdamaian di Palestina. Bagi Israel, Hamas
menjadi penghalang terciptanya perdamaian dengan Palestina dan memasukkan
organisasi ini dalam daftar teroris karena terus-menerus melakukan perlawanan
senjata ke wilayah Israel.
Selain Hamas, terdapat juga Gerakan Nasional Pembebasan Palestina
atau disebut dengan Fatah (penaklukan). Fatah dari dulu sudah mendominasi
pemerintahan Pusat Palestina, tercatat Presiden pertama Palestina (Yasser
Arafat) berasal dari faksi Fatah sampai saat ini (era Mahmoud Abbas).
Tidak seperti Hamas yang melakukan perlawanan senjata terhadap Israel,
Fatah justru melakukan pendekatan yang lebih soft terhadap Israel
yaitu melalui jalur diplomasi.
Oleh karena itu, kunci utama mewujudkan perdamaian di Palestina
ialah menyatukan kedua faksi Hamas dan Fatah tersebut. Tanpa persatuan di
negeri Palestina, maka mustahil peranan internasional bisa mewujudkan Palestina
merdeka. Dalam forum KTT LB OKI ini, terbuka kesempatan lebar untuk bisa
mewujudkan perdamaian antara dua faksi tersebut dengan melobi negara-negara
yang memberikan dukungan politik dan finansial terhadap keduanya seperti Iran
yang mendukung perlawanan Hamas terhadap Israel dan Mesir di bawah Asisi yang
mendukung perjuangan Fatah.
Hasil dari KTT LB OKI ini akan ditandatangani “Deklarasi Jakarta”
sebagai kesatuan sikap terhadap kemerdekaan Palestina, juga sebagai bentuk
keterikatan moral politik negara-negara OKI untuk satu suara terkait isu Palestina.
Mudah-mudahan hasil dari konferensi ini tidak hanya sebagai sebuah pertemuan
saja, melainkan juga menghasilkan bentuk nyata yaitu kemerdekaan Palestina.
Sehingga hutang sejarah negara-negara anggota OKI dan khususnya Indonesia bisa
terlunasi. Amiiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.
Komentar
Posting Komentar