Krisis Suriah
Kita telah
menyaksikan di media massa, baik cetak maupun elektronik mengenai konflik di
negara kaya minyak (Suriah). Hampir setiap hari kita disajikan dengan
berita-berita tentang Suriah yang tak pernah habis-habisnya mewarnai sejumlah
media massa di Indonesia. Konflik Suriah merupakan konflik internal yang
melibatkan militer yang pro Assad dengan oposisi yang kontra Assad.
Konflik ini
bermula dari serangkaian protes terhadap kepemimpinan Bashar Assad yang lebih
dari lima dekade memimpin negeri itu. Selama lima dekade tersebut kepemimpinan
Assad dinilai tidak membuat negeri yang kaya minyak itu semakin maju, tetapi
sebaliknya banyak yang menuduh Assad menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya
diri dan keluarganya. Ini bisa dilihat dari kehidupan Asma al-Assad –istri
Assad– yang serba “wah” dengan membeli perhiasan-perhiasan yang
bernilai miliaran rupiah di tengah konflik dan kemiskinan yang melanda negaranya.
Selama konflik
berlangsung kegiatan perekonomian di negara itu mengalami kemunduran, hal ini
menyebabkan banyak sekali pengangguran di negara tersebut. Selain banyaknya
pengangguran, banyak anak-anak yang putus sekolah akibat kondisi negaranya yang
tidak aman, mereka enggan keluar rumah untuk pergi ke sekolah.
Memang tidak
dapat dipungkiri, setiap konflik pasti akan merugikan pihak yang terlibat di
dalamnya, apalagi konflik yang melibatkan pemerintah dengan rakyatnya.
Bagaimanpun juga rakyat tidak akan menang melawan pemerintah yang di dukung
oleh tentara yang bersenjata lengkap. Rakyatlah yang akan menjadi korban akibat
kekerasan tersebut. Menurut data PBB jumlah warga Suriah yang tewas akibat
konflik selama dua tahun tersebut berjumlah lebih dari 100.000 orang. Oleh
sebab itu, PBB menyerukan agar konflik ini harus segera di akhiri.
AS “Kecewa”
Setelah konflik
Suriah yang tak tahu kapan berakhir dan disertai dengan semakin banyaknya
korban berjatuhan dari kelompok pemberontak, membuat AS “geram” dengan konflik
ini. Disamping itu, dugaan yang menyatakan bahwa Presiden Bashar Assad
menggunakan senjata kimia dalam sejumlah serangan yang dilakukannya terhadap
pemberontak juga menjadi alasan kemarahan negeri Paman Sam.
Kecurigaan ini
pun mendorong AS melalui PBB, untuk melakukan penyelidikan terhadap senjata
kimia yang digunakan pasukan pro-pemerintah untuk melawan pemberontak. Setelah
dilakukan penyelidikan baik oleh lembaga independen maupun dari AS sendiri,
dikantongi sejumlah bukti yang menguatkan rencana AS untuk melakukan serangan
militer ke Suriah. Akan tetapi rencana AS tersebut tidak sendirian melainkan
butuh bantuan dari sekutunya di Eropa terutama Inggris.
Yang mengejutkan
justru Pemerintah Inggris menolak mentah-mentah ajakan AS tersebut karena
diganjal oleh Parlemen Inggris. Hampir suara mayoritas di Parlemen Inggris
memilih tidak menyetujui Pemerintahan Cameron ikut dalam misi AS di Suriah
tersebut. Tentu ini membuat AS menelan ludah dan tak bisa terbayangkan
jika AS menyerang Suriah tanpa bantuan Inggris yang dinilai sangat loyal kepada
AS.
Selain itu, AS
juga kecewa dengan sikap PBB yang cenderung menekan AS untuk tidak “gegabah”
dalam menyelesaikan konflik Suriah. Sebelumnya memang sudah diadakan pertemuan
antara anggota tetap Dewan Keamanaan (DK) PBB di New York untuk membahas
Suriah, tetapi lagi-lagi AS harus menelan ludah untuk yang kedua kalinya.
Karena dalam pertemuan singkat itu, masing-masing anggota DK PBB menolak
rencana AS untuk menggunakan kekuatan militer ke Suriah.
Bagaimanapun
juga kekerasan tidak dibenarkan dalam menyelesaikan masalah apapun, termasuk
dalam menyelesaikan masalah Suriah. Kita mungkin sudah tahu bahwa konflik di
Suriah merupakan konflik yang melibatkan penguasa dengan rakyatnya (oposisi).
Seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa bagaimanapun juga rakyat tidak akan
menang melawan pemerintah yang di dukung oleh militer yang bersenjatakan
lengkap, sehingga kebanyakan yang jadi korban dalam masalah ini berada di pihak
rakyat dalam hal ini pihak oposisi.
Kebiadaban ini
pun akhirnya tidak bisa dibiarkan terlalu lama, karena ini sudah menyangkut
sekaligus melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Penyelesaian konflik melalui aksi
militer yang AS canangkan untuk melemahkan rezim Assad tidak akan dapat
menyelesaikan masalah, malah justru akan semakin memperparah keadaan.
Kita tidak
menginginkan Suriah bernasib sama seperti Irak. Irak yang dulu merupakan Negara
yang kaya raya serta negara yang paling diperhitungkan di kawasan Timur Tengah
sekarang menjadi Negara yang “kacau”. Kekacauan ini bermula sejak invasi AS ke
Irak pada tahun 2003 yang bermotivkan “senjata pemusnah massal” yang dituduhan
AS terhadap pemerintahan Saddam Husein. Tuduhan ini pun akhirnya sampai
sekarang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Oleh sebab
itulah negara-negara yang dulu “getol” mendukung setiap kebijakan luar negeri
AS khususnya di Timur Tengah mempertimbangkan kembali dukungannya tentunya
dengan mempertimbangkan cost and benefit nya.
Memang tidaklah
mudah dalam menyelesaikan konflik Suriah yang semakin “alot” dan cenderung
semakin brutal, ditambah lagi dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.
Assad yang mempunyai nafsu kekuasaan yang sangat tinggi tidak mau melepas
kekuasaannya begitu saja, sebaliknya dipihak oposisi yang selalu menyuarakan
agar Assad mundur dari jabatannya sebagai presiden, membuat Assad semakin
gencar melakukan penyerangan. Hal ini perlu tindakan yang nyata dan tegas dari
PBB selaku organisasi yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan kebijakan
terkait masalah Suriah. PBB dalam hal ini bisa memaksa pemerintah dan pihak
oposisi di Suriah untuk melakukan gencatan senjata dan melakukan pemilihan umum
sesuai undang-undang yang berlaku, agar tercipta kembali kehidupan yang
kondusif.
Komentar
Posting Komentar