Konflik dan Pesan Damai
Kondisi politik internasional abad ke-21 ini diwarnai
berbagai konflik. Tidak hanya berskala nasional, melainkan juga multinasional
melibatkan negara-negara kuat (super power) yang saling berebut
pengaruh. Timur Tengah dan daratan Arab secara keseluruhan mengalami gejolak
politik yang massif, negara-negara di kawasan itu mengalami apa
yang disebut sebagai "Gelombang Musim Semi Arab (Arab Spring)".
Musim Semi Arab—bisa diartikan juga sebagai “Kebangkitan
Arab”—menurut definisi Oxford Dictionaries adalah a series of
anti-government uprisings in various countries in North Africa and the Middle
East, beginning in Tunisia in December 2010. “Serangkaian pemberontakan
anti-pemerintah di berbagai negara di Afrika Utara dan Timur Tengah, mulai di
Tunisia pada bulan Desember 2010.” Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa Arab Spring sebagai bentuk revolusi rakyat yang terjadi di
Afrika Utara dan Timur Tengah, bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang
dianggap tidak demokratis, otoriter, terjadi secara massif dan
memiliki efek domino (domino effect).
Gelombang Arab Spring ini terjadi secara berurutan mulai
dari Tunisia (2011), Libya, Al Jazair, Lebanon, Yordania, Oman, Mesir, Bahrain,
Kuwait, Suriah dan terakhir Yaman. Tidak terhitung berapa banyak kerugian
akibat gelombang Arab Spring ini, tidak hanya rugi secara ekonomi maupun politik,
melainkan juga gelombang Arab Spiring tersebut menelan
jutaan korban jiwa dari penduduk sipil. Sedangkan penduduk yang selamat harus
menjalani kehidupan yang penuh dengan ketakutan di bawah ancaman militer maupun
kelompok oposisi. Kondisi ini kemudian mendorong gelombang imigrasi
besar-besaran dari negara-negara yang tengah mengalami reformasi politik.
Umumnya mereka melakukan migrasi ke negara-negara yang dianggap aman, seperti
Eropa, Asia dan Amerika. Eropa merupakan tujuan utama para imigran, selain
dekat dengan Timur Tengah juga negara-negara Eropa umumnya sudah maju.
Meskipun demikian, tidak mudah untuk sampai ke Eropa.
Para imigran harus melewati Laut Mediterania dengan menggunakan perahu kecil.
Belum lagi perahu yang kecil itu diisi melebihi kapasitasnya, sehingga banyak
perahu imigran terdampar di Laut dan banyak yang tidak selamat. Sesampainya
mereka di daratan Eropa, mereka harus menerima penolakan dari pemerintahan dan
penduduk negara tersebut. Penolakan itu tentu berdasarkan alasan, dan alasan
utamanya adalah faktor keamanan. Negara-negara Eropa merasa terancam dengan
gelombang imigrasi, mereka khawatir gelombang imigrasi itu akan dimanfaatkan
oleh kelompok Islam radikal yang masuk ke Eropa dan melakukan aksi teror di sana.
Faktor ekonomi juga menjadi alasan lain dari penolakan
negara-negara Eropa terhadap imigran Timur Tengah. Negara-negara Eropa yang
secara ekonomi masih lemah seperti Hungaria, Polandia, Slovakia, Yunani dan
Kroasia menolak menerima imigran dari Timur Tengah. Karena jika mereka
menerima, harus siap untuk memenuhi kebutuhan imigran seperti rumah atau kemah,
pakaian, makanan, layanan kesehatan, dan lain sebagainya yang semuanya itu
membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Penderitaan imigran di atas, adalah sebagian kecil dari
berbagai penderitaan-penderitaan yang mungkin akan mereka terima ke depan.
Resistensi dari masyarakat di negara yang mereka tempati pasti ada, itu bisa
disebabkan perbedaan budaya. Belum lagi berbagai permasalahan lain yang
tidak diekspos media massa. Semua permasalahan itu, tidak akan mereka hadapi
jika negara mereka aman, tidak akan terjadi jika penguasa mereka tidak haus
kekuasaan. Dan mereka tidak akan meninggalkan tanah kelahiran mereka, tidak
akan meninggalkan negara mereka, jika negara mereka dapat memberikan kemanan,
dan kenyamanan untuk hidup. Tapi kenyataannya berbeda, negara mereka hancur,
pemerintah mereka meneror rakyatnya, membunuh anak-anak yang tidak berdosa, dan
membuat kekacauan atas nama keamanan.
Pesan Damai
Persoalan-persoalan di atas mendapat perhatian dari
berbagai tokoh, baik dari penggiat HAM maupun dari tokoh agamawan seperti Dalai
Lama. Pemimpin spiritual Tibet ini menyampaikan pesan damai dalam sebuah acara
yang diselenggarakan pada 31 Desember 2015 oleh Central Muslim Association
(CMA) Karnataka di Mysore, India (lihat). Dalam pertemuan itu, Dalai
Lama mengajak kepada umat Islam dan umat manusia pada umumnya untuk mencontoh
pengabdian Nabi Muhammad SAW. "Seluruh hidup Nabi Muhammad (SAW) adalah contoh
terbaik untuk seluruh umat manusia," ungkap Dalai Lama. Selain itu, ia mengajak umat manusia untuk
hidup damai seperti yang diajarkan oleh Allah melalui Nabi-Nya (Muhammad).
Karena pesan-pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah perdamaian, cinta,
keadilan, dan toleransi beragama.
"Kita harus mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad (Saw) dalam rangka membangun perdamaian global dan untuk mengakhiri terorisme dan tirani di dunia. Pesan Nabi Muhammad (Saw) adalah perdamain, cinta, keadilan, dan toleransi beragama akan selalu menjadi cahaya utama untuk seluruh umat manusia." Dalai Lama.
Lantas, bagaimana kita melihat konflik di Timur Tengah
yang secara tidak langsung telah menciderai pesan-pesan damai tersebut? Patut
disadari, gejolak politik yang terjadi selama ini baik di tanah Arab maupun di
belahan dunia lainnya, tidak lain dan tidak bukan dikarenakan nafsu manusiawi. Nafsu manusiawi yang dimaksud adalah nafsu untuk berkuasa, dan menguasai. Para pemimpin cenderung mengesampingkan kepentingan rakyatnya, mengutaman kepentingan dan ambisi pribadinya. Hati mereka dibutakan oleh "libido kekuasaan" yang tinggi, dan tak segan melakukan segala cara untuk mengamankan kekuasaannya. Maka jika demikian, mereka memimpin tidak menggunakan prinsip. Seringkali penguasa mengabaikan prinsip moral yang semestinya mereka junjung tinggi. Padahal prinsip moral itulah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW selaku pemimpin umat manusia. Jika para penguasa menggunakan prinsip Nabi Muhammad seperti yang disebutkan Dalai Lama di atas, niscaya tidak akan timbul konflik seperti yang terjadi di Timur Tengah sekarang ini.
Pemimpin/penguasa memiliki peran sentral dalam menjaga perdamaian, tentu itu semua harus dilandasi prinsip yang berlaku secara umum. Bukan prinsip yang mereka tafsirkan sendiri, untuk kepentingan pribadi. Berbagai teoritikus Islam abad klasik dan pertengahan telah menekankan esensi kepemimpinan. Al-Farrabi, al-Mawardi, al-Ghazali,
Ibn Taimiyah, dan Ibn Khaldun mengatakan bahwa esensi kepemimpinan itu
harus ada (al-Mawardi menyebutnya fardhu kifayah) dalam kehidupan
manusia. Tidak adanya kepemimpinan merupakan kerugian bagi umat manusia. Karena
tugas pemimpin menurut al-Mawardi diantaranya memelihara agama, melaksanakan
hukum secara adil, memelihara keamanan, menegakkan hudud, membentuk tentara
yang tangguh, melakukan jihad, memungut harta (sekarang pajak) dan zakat dari
rakyat, dan membagikannya kepada yang berhak, menyampaikan amanah, dan
memperkuat posisinya di masyarakat dan pemeliharaannya terhadap agama (Iqbal:2013,p.19-20).
Kita tidak bisa mengabaikan esensi kepemimpinan, itu sudah menjadi hukum alam. Kepemimpinan adalah suatu keharusan seperti pendapat teoritikus-teoritikus Islam di atas. Ketiadaan pemimpin adalah suatu kehancuran, tetapi adanya pemimpin juga terkadang bisa menyebabkan kehancuran. Untuk itu, diperlukan sosok pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai perdamaian, musyawarah, toleransi, dan keadilan. Jika para pemimpin memiliki nilai-nilai dan prinsip di atas, niscaya kehidupan umat manusia akan damai dan harmonis.
Sumber Bacaan
Muhammad
Iqbal dan Amin Husein Nasution, 2013, Pemikiran Politik Islam; Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Edisi Revisi, Cet. Ke-2,
Jakarta: Kencana.
Komentar
Posting Komentar