Sekilas tentang Gender

Isu seputar gender tampaknya mendapat tempat tersendiri di era modern saat ini. Semakin kompleks kehidupan manusia membuat posisi perempuan secara tidak langsung di nomor dua-kan.  Hal tersebut dikarenakan masih kentalnya peninggalan budaya patriarkhi tempo dulu yang masih dipraktekkan di era sekarang ini. Selain itu, ajaran agama yang secara tekstual memposisikan perempuan di bawah laki-laki. Perempuan dinilai memiliki banyak kelemahan, sehingga membutuhkan perlindungan laki-laki. Doktrin agama mengenai kesetaraan gender melalui ajaran-ajaran dalam kitab suci tersebut (khususnya Agama Islam) akan dibahas selanjutnya. 

Sebelum kita memasuki perdebatan seputar gender, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu pengertian gender. WHO (2001) mendefiniskan gender sebagai perbedaan status/dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode tertentu. Suryadi dan Idris (2004) memaknai gender sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.
Sedangkan pengertian gender secara umum dapat diartikan sebagai keadaan individu secara biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian membentuk perbedaan dalam peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. Pandangan ini berbeda dengan pengertian seks (jenis kelamin), dimana seks merupakan pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Misalnya laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma, perempuan memiliki vagina dan memproduksi sel telur. Alat kelamin tersebut tidak dapat dipertukarkan dan dianggap sebagai kodrat Tuhan. Berbeda dengan gender yang dalam hal ini bisa ditukarkan peran dan posisinya (antara laki-laki dan perempuan), tergantung kepada nilai budaya masyarakat setempat.
Isu seputar perbedaan gender ini bermula ketika diterbitkannya buku karangan Betty Friedan dengan judul The Feminine Mystique. Buku tersebut berdampak luas di Amerika Serikat (AS), dan dari sini kemudian muncul gerakan perempuan (feminism) yang menuntut agar posisi perempuan setara (equal) dengan laki-laki, tidak hanya dalam struktur sosial tetapi juga dalam bidang ekonomi dan politik. Misalnya dalam hal ekonomi mereka menuntut agar upah perempuan setara dengan upah yang diterima oleh laki-laki, sehingga dikeluarkannya Equal Pay Right (1963). Sedangkan dalam politik, gerakan perempuan ini mendorong agar kaum Hawa diberi hak yang sama dengan laik-laki untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Tuntutan ini juga kemudian mendorong dikeluarkannya Equal Right Act (1964).
Keberhasilan gerakan perempuan di AS tersebut, telah mendorong kalangan penggiat kesetaraan gender di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mereka mengampanyekan kesetaraan gender di negaranya masing-masing. Aktivis perempuan muslim seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi (Maroko), dan Musdah Mulia (Indonesia) juga getol menyuarakan agar posisi perempuan dalam struktur masyarakat (khususnya di Asia) di perhatikan dengan diberikan hak yang sama dalam politik maupun ekonomi. Di Indonesia, aktivis perempuan seperti R.A Kartini jauh sebelum isu kesetaraan gender masuk ke Indonesia telah terlebih dahulu menyuarakan isu kesetaraan perempuan dalam struktur masyarakat Indonesia.
Gerakan kartini di nusantara mendorong kaum perempuan untuk bangkit melawan doktrin-doktrin lama yang merendahkan posisi perempuan dalam struktur sosial, seperti perempuan tidak boleh sekolah dan hanya berada di dapur, sumur dan kasur. Gerakan Kartini tersebut pada awalnya hanya difokuskan kepada pendidikan dengan mendorong agar perempuan Indonesia ikut belajar di sekolah seperti halnya kaum laki-laki. Kemudian gerakan Kartini sekarang ini –di karenakan banyaknya penggiat gender di Indonesia –meluas tidak hanya dalam bidang pendidikan melainkan juga dalam bidang ekonomi dan politik. Misalnya dalam bidang politik adanya undang-undang yang mengatur 30% keterwakilan perempuan di parlemen.
Kembali ke doktrin agama, seperti yang telah disinggung di atas bahwa salah satu faktor mengapa posisi perempuan dalam struktur masyarakat khususnya di Indonesia –mayoritas muslim –ter-subordinasikan adalah karena kuatnya pengaruh agama dalam memberikan penilaian terhadap posisi perempuan. Dalam hal ini, penulis tidak mendiskreditkan posisi al-Qur’an sebagai sumber pegangan umat Islam melainkan pandangan dari kalangan muslimah reformis yang menganggap bahwa interpretasi terhadap teks-teks suci agama Islam –khususnya yang berkaitan dengan perempuan –justru merugikan peran dan kedudukan perempuan (Marwan,2005). Kasus seperti ini kemudian menjadi permasalahan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia.
Musdah memberikan beberapa dalil al-Qur’an yang menurutnya bias gender. Pertama, dalil yang menyebutkan asal usul penciptaan manusia dimana Adam merupakan manusia pertama dan istrinya Hawa sebagai manusia kedua yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Dengan demikian perempuan adalah subordinat dari laki-laki. Musdah menilai penciptaan Hawa (sebagai manusia kedua) tidak ada landasan pembenaran dari al-Qur’an dan Hadits (Marwan,2005:83).
Kedua, terkait dengan kejatuhan Adam dan Hawa dari surga ke dunia disebabkan godaan Iblis melalui Hawa, dalam hal ini perempuan dipandang sebagai makhluk penggoda dan dekat dengan Iblis. Menurut Musdah bukan Hawa yang menggoda terlebih dahulu melainkan Adam sendiri yang pertama kali menggoda. Pandangan Musdah mengacu kepada surat al-A’raf: 20 dan al-Baqarah: 36. 
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)". (al-A’raf: 20).
          “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan". (Al-Baqarah:36).  
Ketiga, menyangkut kepemimpinan yang diterangkan dalam al-Qur’an surat An-Nisa: 34 yang terjemahannya sebagai berikut “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” dan sebuah hadits yang menyebutkan “celakalah suatu bangsa yang mempercayakan kepemimpinannya kepada perempuan.”
Berkaitan dengan surat An-Nisa: 34 di atas, Musdah mengambil pendapat Ashgar Ali Engineer feminis muslim asal India. Menurutnya dilihat dari ashbabul nuzul dari ayat tersebut bukan berbicara tentang kepemimpinan, melainkan mengenai “domestic violence” atau kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam masyarakat Arab pra Islam. Dalam mengartikan lafadz qawwam dari ayat tersebut, menurut Musdah bukan berada pada pihak laki-laki, sebagaimana yang dipersepsikan khalayak pada umumnya yang kemudian dirasionalisasikan menjadi ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam bidang ekonomi dan keamanan. Jika “ketergantungan” itu tidak ada lagi, maka posisi qawwam bisa ditawar. (Marwan,2005).
Perdebatan yang terjadi berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist di atas perlu di tinjau lebih dalam lagi agar tidak terjadi pemaknaan yang menurut kalangan muslimah reformis sebagai bias gender. Penulis dalam hal ini hanya bisa mendeskripsikan mengenai perdebatan gender dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengkritisi atau menanggapi –khususnya –tafsiran umum mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist di atas. Karena bagi penulis merujuk kepada interpretasi yang telah digunakan oleh ulama terdahulu mengenai ayat di atas menunjukkan interpretasi yang sama dengan sekarang ini. Disisi lain, penulis menghargai usaha yang dilakukan oleh Musdah Mulia dan kalangan penggiat gender lainnya untuk terus menyuarakan kesetaraan perempuan dalam semua aspek kehidupan. Sehingga kejadian seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan bentuk diskriminasi terhadap perempuan lainnya bisa di cegah.
Catatan penulis mengenai gender disini ialah persepsi masyarakat secara umum mengenai posisi perempuan yang kemudian menjadi sebuah nilai budaya lambat laun akan mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan dan kemajuan pola pikir masyarakat. Karena bagi penulis, subordinasi perempuan terjadi lantaran tingkat pendidikan perempuan secara keseluruhan (terutama di desa-desa) sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga perempuan selalu dipandang sebagai manusia kelas dua (the second human being) yang secara intelegensinya juga rendah. Maka untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi perempuan (juga laki-laki) adalah dengan melakukan pemerataan pendidikan khususnya di daerah tertinggal.

Sumber Bacaan

Saridjo, Marwan, “Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab”, Jakarta: Penamadani, 2005.


 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rudal Balistik Korut Yang Bikin Heboh

Humanitarian Intervention ditinjau kembali

Komunikasi Politik