Konflik Rohingya
Konflik
antar etnis sering terjadi di negara-nagara yang umumnya heterogen baik dari
suku bangsa, kebudayaan, ras bahkan agama. Di Asia Tenggara, konflik antar
etnis maupun agama sering terjadi misalnya konflik Suku Melayu di Thailand
Selatan, konflik Aceh, Maluku Utara, Papua Barat dan yang terbaru konflik antar
etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar.
Konflik
Rohingya bermula dengan adanya penemuan mayat perempuan dari Suku Rakhine yang
natabene beragama Budha. Kemudian masyarakat Rakhine menuduh mayat perempuan
tersebut merupakan korban pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh etnis
Muslim Rohingya. Meskipun belum ada laporan yang jelas dari pihak berwenang
atas dugaan pembunuhan dan pemerkosaan tersebut, namun etnis Rakhine telah
tersulut emosi hingga pada Juni 2012 terjadi aksi pembunuhan terhadap 10 orang
Muslim Rohingya. Kemudian kekerasan terhadap etnis Rohingya menjalar ke seluruh
wilayah Rakhine, terjadi aksi pembakaran rumah, sekolah dan masjid, pembunuhan
dan pemerkosaan hingga akhirnya pemerintah menerapkan darurat militer wilayah
tersebut.
Karena
situasi yang tidak kondusif di negara bagian Rakhine dan ditetapkannya situasi
darurat militer, kemudian pemerintah mengirimkan pasukan bersenjata untuk
mengamankan kondisi di Rakhine. Akan tetapi bukannya mengamankan, pasukan
bersenjata yang dikirim pemerintah justru melakukan tindakan represif terhadap
Muslim Rohingya karena dianggap sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh.
Menurut
laporan yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch (HRW) tentara
Myanmar terlibat dalam aksi pemerkosaan, pembunuhan dan penangkapan massal
terhadap etnis Rohingya. Kekerasan dan pembunuhan telah mendorong
organisasi-organisasi HAM dunia untuk menggalang bantuan kemanusiaan, tetapi
bantuan kemanusian tersebut tidak berjalan secara terus menerus lantaran
dicabutnya izin kegiatan oleh pemerintah Myanmar dan Bangladesh. Seperti
organisasi bantuan kemanusiaan Medecins Sans Frontieres (MSF)
yang dihentikan kegiatan bantuannya oleh pemerintah Myanmar karena dianggap pro
Rohingya. Selain itu, perlakuan yang sama juga diberikan pemerintah Bangladesh
terhadap organisasi Medecins Sans Frontieres (MSF), karena
dianggap MSF telah memberikan citra buruk terhadap Bangladesh menyikapi masalah
Rohingya. Hal ini mengakibatkan terputusnya bantuan kemanusiaan terhadap etnis
Rohingya yang membutuhkan bantuan seperti kesehatan dan logistik.
Konflik
tak berujung serta kebijakan pemerintah Myanmar yang diskriminatif membuat
etnis Rohingya melarikan diri dari tempat kelahirannya. Mereka menggunakan
perahu untuk mencari perlindungan (suaka) ke sejumlah negara di Asia Tenggara
seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia. Puncaknya terjadi pada pertengahan
bulan Mei 2015, dimana nelayan Aceh menyelamatkan 800 pengungsi asal Rohingya
dan Bangladesh di perairan Aceh. Sebelumnya para pengungsi tersebut memasuki
perairan Malaysia, namun dihadang oleh tentara Malaysia dan diusir ke perairan
Indonesia.
Jumlah
pengungsi yang ditampung Indonesia pada pertengahan Mei 2015 sekitar 1.346
terdiri dari pengungsi Rohingya dan Bangladesh. Hingga sekarang, pemerintah Indonesia
telah menampung sekitar 12 ribu pengungsi asal Rohingya dan Bangladesh.
Kebijakan
Indonesia
Menyikapi
masalah Rohingya, pada tahun 2012 pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan
SBY telah mengirimkan surat diplomatik kepada Presiden Thein Sein meminta agar pemerintah Myanmar memperhatikan harapan
Indonesia dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Luar Negeri meminta dilakukan diplomasi aktif terhadap konflik
Rohingya dan mengusahakan agar Myanmar mengundang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta mengundang negara yang tergabung
dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), untuk datang ke lokasi konflik sehingga
bisa mengetahui situasi sebenarnya. Setelah mendapat desakan dari berbagai
pihak termasuk Indonesia, akhirnya pemerintah Myanmar membuat dua kegiatan yang
tujuannya untuk memberikan gambaran dari konflik Rohingya di negara bagian
Rakhine. Diantara dua kegiatan tersebut adalah:
Pertama. Melakukan briefing resmi yang dipimpin oleh
Menteri Luar Negeri Myanmar U Wunna Maung Lwin di kantor Kementerian Luar
Negeri di Yangon, tanggal 30 Juli 2012. Kedua, Site Visit ke
Rakhine yang dipimpin oleh Menteri Urusan Perbatasan dan Pengembangan Wilayah
Myanmar, Letjen U Thein Htay ke kota
Sittwe dan Maungdaw, tanggal 31 Juli – 1 Agustus 2012. Hal tersebut disambut
baik oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan gambaran yang jelas tentang
konflik di Rakhine.
Sebelum terjadi konflik
Rohingya, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan constructive
engagement menyangkut pembangunan demokrasi dan penegakan Hak Asasi
Manusia di Myanmar. Kebijakan yang berlaku pada tahun 1992 ini juga berlaku
pada konflik Rohingya. Indonesia terus mendorong Myanmar untuk melakukan
stabilitas di kawasan Rakhine, dan terus mengangkat isu Rohingya dalam forum
regional maupun internasional.
Sedangkan dibawah
pemerintahan Jokowi, terkait dengan pengungsi Rohingya. Indonesia telah
menerapkan kebijakan distress of sea artinya pemerintan Indonesia hanya memberikan bantuan di laut
apabila menemukan pengungsi Rohingya, bantuan yang diberikan tergantung
permintaan pengungsi.
Berbagai
faktor menjadi perhatian pemerintah setiap negara menghadapi pengungsi, mulai
dari keamanan, kondisi sosial, anggaran sampai kesehatan. Hal ini dikarenakan
aturan internasional yang menetapkan bahwa pencari suaka harus diperlakukan
sama halnya dengan penduduk setempat. Sehingga perlu perhitungan matang untuk
menampung pengungsi.
Menyikapi
isu pengungsi Rohingya sekarang ini, tampaknya pemerintah Indonesia bersama dua
negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand telah menyampingkan
faktor-faktor diatas, karena yang dikedepankan adalah sisi kemanusiaan.
Indonesia dan Malaysia bersedia menampung pengungsi Rohingya dalam jangka waktu
satu tahun, dan mendorong lembaga terkait seperti International Organization for Migration (IOM) dan United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
ikut serta membantu baik dari segi pendanaan maupun bantuan obat-obatan dan
lain sebagainya.
Jika kita
melihat setiap kebijakan pemerintah Indonesia –masa SBY dan Jokowi –terkait
pengungsi tidak terlalu signifikan, dalam arti Indonesia tidak memberikan
bantuan untuk memberikan suaka kepada para pengungsi, Indonesia hanya
memberikan tempat penampungan sementara dan untuk selanjutnya diserahkan ke
negara-negara yang menandatangani konvensi PBB tahun 1951 tentang pengungsi.
Hal ini dikarenakan Indonesia tidak menandatangani konvensi tentang pengungsi,
sehingga tidak mempunyai kewajiban sebagai negara penerima pengungsi.
Berbagai
alasan mengapa Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut lantaran
Indonesia masih mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi.
Dari jumlah penduduk Indonesia masih terbilang banyak dan menempati posisi ke-4
dunia, sedangkan penduduk yang masih berada di garis kemiskinan sekitar 14
persen dari 250 juta jiwa. Akan tetapi Indonesia masih memiliki spirit dari
konvensi tersebut, misalnya Indonesia masih bersedia menampung sementara
pengungsi dari berbagai negara dengan alasan kemanusiaan. Spirit kemanusiaan
itulah hendaknya dimiliki oleh negara-negara yang menandatangi konvensi tahun
1951 tentang pengungsi.
Kesimpulan
Konflik
etnis dan agama yang terjadi di Myanmar telah menciderai demokratisasi di
negeri tersebut. Karena esensi demokrasi tidak hanya adanya pemilu, melainkan
terdapat pula nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama seperti kebebasan,
keadilan dan persamaan. Myanmar perlu menyelesaikan konflik sektarian di negara
bagian Rakhine dengan memperhatikan aspek-aspek manusiawi, tidak memandang
suku, agama, ras dan golongan. Sehingga proses rekonstruksi bisa berjalan
dengan baik, dan tercipta kehidupan sosial yang aman, damai dan harmonis.
Indonesia
hanya bisa melakukan tindakan soft diplomacy karena sesuai
dengan aturan bersama yang berlaku di ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam
negeri negara anggotanya. Pada era pemerintahan SBY, Indonesia menekan Myanmar
dengan cara membawa konflik Rohingya dalam forum-forum regional dan
internasional. Melalui peran ASEAN dan PBB secara tidak langsung Indonesia
mampu memainkan perannya sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara, terlebih
dalam menyikapi masalah Rohingya.
Sumber Bacaan
Muhamad, Simela Victor, “Tragedi Kemanusiaan Rohingya”, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-15-I-P3DI-Agustus-2012-7.pdf diakses
pada tanggal 03 Juni 2015
Sindonews.com, “Bantu Kaum Rohingya, MSF dilarang
beroperasi di Myanmar” http://international.sindonews.com/read/840253/40/bantu-kaum-rohingya-msf-dilarang-beroperasi-di-myanmar-1393648775 1
Maret 2014, diakses pada tanggal 03 Juni 2015
beritasatu.com, “SBY Surati Presiden Myanmar Soal Rohingya”,
04 Agustus 2012 http://www.beritasatu.com/nasional/64209-sby-surati-presiden-myanmar-soal-rohingya.html diakses
pada tanggal 03 Juni 2015
lensaindonesia.com, “Indonesia Terapkan Kebijakan
Constructive Engagement dengan Myanmar” 02 September 2012, http://www.lensaindonesia.com/2012/09/02/indonesia-terapkan-kebijakan-constructive-engagement-dengan-myanmar.html diakses
pada tanggal 03 Juni 2015.
Republika online, “Bagaimana Sikap Indonesia pada
Pengungsi Rohingya di Laut?” 19 Mei
2015, http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/05/19/noljhn-bagaimana-sikap-indonesia-pada-pengungsi-rohingya-di-laut diakses
pada tanggal 03 Juni 2015.
Komentar
Posting Komentar